26 March 2012

Anda dan Dia.

Jujur, jika ditanya, saya tidak begitu suka melihat kalian berdua. Saya iri, karena dia memiliki apa yang tidak saya punya, meski saya dan dia memiliki usia yang jauh berbeda.

Kalian sangat akrab. Banyak bicara satu sama lain. Anda sangat perhatian padanya. Dan dia pun terlihat sangat bergantung pada Anda. Semua kasih sayang Anda sangat terlihat pada bagaimana Anda menatap matanya. Ada sedikit perasaan campur aduk. Saya ingin menggantikannya, bisa berdua dengan Anda. Yah, hanya harapan kosong saja. Saat dia tidur di pangkuan Anda, mata saya tidak bisa mengalihkan pandangan dari kalian. Anda sangat pengertian. Merapikan baju nya yang berantakan, merapikan rambutnya, membenarkan posisi tidurnya, membenahi letak selimutnya. Kalian memiliki hubungan yang dekat, saya tahu itu. Andai waktu bisa diputar ulang kembali dan saya berperan sebagai dia, ya, saya benar-benar berharap saya adalah dia.

Satu kalimat yang saya ingat tentang apa yang dia pinta kepada Anda, dan Anda langsung mengabulkannya adalah "Papah, beliin susu coklat panas dong".  

**sedang dihantui oleh sosok Anda bagi saya**

09 March 2012

Pikiran Memikirkan Pemikiran.


Pulang ke rumah selalu memberikan suasana hati yang nyaman. Se-enak apapun tinggal di kota orang, memang selalu lebih enak berada di rumah. Pulang kali ini, cerita yang didengar pun berbeda dan sedikit mengusik pemikiran.

Besar di keluarga ini adalah sebuah keunikan. Keluarga ini multi ras. Sebuah keberuntungan yang jarang didapat oleh orang lain, mungkin tidak banyak keluarga yang seperti ini. Kakek-nenek dari ibu, dan kakek-nenek dari ayah, melihat om dan tante yang masing-masing menikah dengan pilihan mereka sendiri, yang kalo dilihat tidak terlalu mengagungkan konsep "jika menikah, menikahlah dengan orang yang satu ras untuk mengurangi perbedaan". Satu ras/suku pun tidak mengurangi kesempatan untuk memiliki sedikit perbedaan pendapat. Melihat lebih dekat, dua kakak sendiri pun menikah dengan pasangan mereka yang berbeda suku. Hal ini membuat keluarga lebih bisa melihat perbedaan, memiliki kesempatan untuk banyak memiliki perbedaan pendapat, berselisih paham, saling memberikan argumen, dan bahkan menyelesaikan permasalahan (walau jarang, hahaha). Tidak hanya berbeda suku, keyakinan pun berbeda. (tidak ada maksud mengangkat SARA, tapi lebih ke pengertian akan baiknya perbedaan itu.) Tidak menutup kemungkinan untuk terjadinya perbedaan karena dalam keadaan yang "mau tak mau harus terjadi".

Kadang ya jika dipikir, beda suku sepertinya lebih gampang diterima ketimbang beda keyakinan. Entah kenapa keyakinan itu menjadi satu hal yang memang layak dipikirkan dua kali, atau bahkan berkali-kali, tapi jika makin dipikirkan juga tak akan menemukan akhir yang memuaskan. Black Hole. Hingga pada saatnya memang, suku dan keyakinan yang berbeda menjadi bersahabat di keluarga. Well, mengambil nilai positifnya, makin berbeda, makin mengasah pikiran untuk menjadi terbuka dan melihat sesuatu dari segi yang berbeda. Perkayalah diri dengan perbedaan.

Belajar mengenai perbedaan dari lingkungan keluarga, kemudian belajar perbedaan ke area yang lebih besar, negara. Indonesia itu penuh, bahkan melimpah dengan keragaman. Tapi sayang, tidak semua orang Indonesia bisa belajar banyak bagaimana menerima keragaman. Sungguh terlalu banyak orang yang mengagungkan konsep "satu suku, satu keyakinan itu lebih baik". Tidak salah sih, hanya rasanya kok kurang pas jika tinggal di negeri ini jika konsep tersebut masih menjadi hal yang utama. Beberapa waktu belakangan, saya berpendapat kalau negeri ini sudah mulai bisa menerima dan menghargai keragaman. Presiden keempat kita menunjukkan bahwa keragaman itu harus diterima dengan baik, hal ini ditandai dengan bertambahnya hari libur nasional di negeri ini :) Waktu berjalan, dan pemikiran tentang "beda suku dan beda keyakinan" bukan menjadi sesuatu besar mulai menjadi hal yang tidak perlu diambil pusing, karena itu sudah biasa. Cerita pagi ini mengusik pemikiran ini.

Salah seorang kakak ipar bekerja di sebuah lembaga yang erat kaitannya dengan hal berbau agama di sebuah propinsi yang masih lekat dengan keyakinan tertentu. Well, kakak ipar satu ini memang sudah terbiasa dengan keragaman semenjak menikah dengan kakak saya, dan kamipun belajar banyak hal dari dia. Sampai hari ini, masing-masing dari mereka masih memegang keyakinan-nya, hanya saat ini mereka tidak tinggal bersama karena alasan pekerjaan. Kakak saya tidak bisa meninggalkan pekerjaan nya di kota X, dan kakak ipar saya diterima kerja di kota Y. Sekali lagi, ambil sisi baiknya, segala hal pasti punya sisi baiknya, seburuk apapun hal itu. Sebulan yang lalu, kakak ipar saya ternyata diberhentikan dari pekerjaannya, dengan alasan memiliki suami yang berdarah keturunan dan berbeda keyakinan. Sangat mengganggu pemikiran. Kenapa sejak awal diterima bekerja? Dan kenapa baru sekarang diberhentikan? Tidak ada alasan yang logis. Sungguh tidak mencerminkan keragaman di negeri ini. Buat apa pelajaran PPKn diberikan semasa Sekolah Dasar? Buat apa kita diajarkan untuk menghargai umat yang berbeda agama? Kalau pada akhirnya tidak bisa diaplikasikan di kehidupan nyata? Jika memang itu kebijakan internal, apakah tidak bisa dilandaskan atas dasar bhineka tunggal ika? Tidak ada maksud sok benar, sok tahu, sok ngerti perbedaan, sok idealis.

Hal ini menjadi sesuatu yang kabur, tak berpenghujung, penting tak penting, dan mungkin tak bisa dijawab. Seperti judul film Indonesia beberapa waktu lalu, Alangkah Lucunya Negeri Ini.

01 March 2012

Integrity, Integritas, Intégrité

Mendengar kata integritas, yang terlintas pertama kali di pikiran adalah keteguhan diri. Menurut seorang teman, seseorang yang memiliki integritas adalah mereka yang dapat melakukan apa yang mereka katakan, bukan hanya dapat tapi juga selalu memelihara sikap mereka. Jika berjanji, tepatilah. Jika berhutang, bayarlah. Jangan mengumbar janji yang tidak akan bisa kita tepati. Perkataan dan tindakan harus sama, itulah Integritas. Hitam ya hitam, putih ya putih, tidak ada area abu-abu. Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak, tidak ada area "mungkin". As simple as that.

Integritas disusul kemudian oleh komitmen. Kesediaan untuk senantiasa menjadi orang yang punya keteguhan. Kemauan untuk melakukan dan menjadi. Jika ingin menjadi orang baik, terusah berbuat kebaikan, dilarang untuk bosan, yang memang pada faktanya menjadi orang baik itu banyak ruginya :) tapi kalau sudah memutuskan, buat komitmen, kesediaan untuk senantiasa berbuat baik. Jika ingin berubah, teruslah berusaha melakukan perubahan, jangan bosan, jangan menyerah. Integritas akan pasti diuji oleh keadaan. Mau menang atau kalah? Itu pilihan.

Membahas kembali tentang komitmen, tampaknya tidak jauh dari hal yang biasa disebut pernikahan. Melihat kakak-kakak yang sudah menikah, menjadi mengerti apa itu pernikahan tanpa harus menikah lebih dulu, yea, suatu keuntungan menjadi bungsu di keluarga. Pernikahan itu saling membuat, mengikat dan memelihara janji. Kata "bosan", "sudah tidak cocok", "sudah beda prinsip", apalagi "tidak cinta lagi" dalam pernikahan itu seharusnya tabu. Tidak boleh, tidak diperkenankan. Pernikahan dilakukan hanya sekali dalam hidup, well, ini menjadi hal yang subyektif di masa sekarang. Ketidakcocokkan, perubahan, dan masa waktu ternyata menjadi hal-hal yang berpotensi menjadi penyebab berakhirnya komitmen. Di sinilah keberadaan si integritas dipertanyakan, kemana perginya? mengapa pergi? siapa yang menyebabkan dia pergi? Pertanyaan susah :( Dari satu pengalaman, pernikahan bisa saja masih dipelihara, tapi hanya sebatas status, faktanya di lapangan, pasangan ini tidak bertemu, tidak komunikasi, beda tempat tinggal, lalu untuk apa dijalani? Bukankah lebih baik pisah saja? Lagi-lagi pertanyaan susah :( Tidak akan ada habisnya alasan demi alasan yang valid dibuat.

Kembali ke awal, selama ada waktu, belajar untuk melakukan apa yang dikatakan, jika semua orang sudah bisa seperti ini, siapa tau keadaan di sekitar bisa "menjadi lebih baik".