03 September 2012

Jengkel.

Membayangkan orang tua yang melihat anaknya melakukan kesalahan yang sama berulang kali, dan ditegur berulang kali, bahkan, dijamin, kuantitas teguran pasti sudah jauh lebih banyak ketimbang kesalahannya, tetap saja anak itu melakukan hal yang sama berulang ulang terus. Rasa apa yang dirasa oleh orang tua? Satu jawaban yang melintas adalah jengkel. Iya, jengkel, versi lebay nya mungkin si orang tua sempat kepikir "Kalau bukan anakku, ngga akan kami tegur lagi."
Lalu bagaimana?

Sedang membuat perumpamaan hal serupa, hanya subyek subyek nya kini berbeda, pihak pertama adalah Pencipta, pihak kedua adalah si manusia. Pihak pertama mungkin sudah lelah melihat kenakalan pihak kedua, tapi apa daya, sudah terlanjur diciptakan, dibiarkan, ditegur, tapi tetap saja belum berubah. Mau apa dikata? Jengkel? Apa ya yang ada di pikiran yang ada di Atas sana? Terlalu jengkel hingga menjadi cuek? Atau tidak jengkel dan masih bersabar?

Ingin rasanya mendengar suara secara langsung, directly, straight to the point, tentang apa mau-Nya dan harus melakukan apa. Akan terlihat mudah jika bertemu dengan banyak pilihan yang ada di sini, dari yang kurang menggoda, cukup menggoda hingga sangat menggoda. Tapi tidak akan semudah itu, tidak akan. Dirinya bukan sesosok gampangan yang mudah ditemui sesuai keinginan pihak kedua. *sigh*. Beruntungnya mereka yang sudah menikmati kesempatan emas untuk mendengar beliau secara langsung, atau bahkan bertemu?

Jatuh bangun itu biasa. Sering salah pilih memilih itu lumrah sebagai manusia *pembenaran*. Sering jatuh itu terlalu biasa. Sering bangun itu tidak biasa. Jatuh di tempat yang sama itu menggiurkan sekaligus memalukan. Salah pilih kemudian ingin meralat itu susah dilakukan.

Jadi maunya apa?